Buscar

Labels

Bunga untuk Mbahbu

*cerpen


            Hari ini merupakan hari yang suram, tapi juga hari yang menyenangkan. Suram yaitu hari ini hanya ada aku dan bapak di rumah. Menyenangkan adalah karena hari ini aku dapat rehat sejenak dari angka-angka. Tentu saja sekarang hari sabtu!
“Bapak mau jenguk Vina di rumah sakit, ikut ngggak?” bapak berkata padaku. Aku fikir, keluar rumah bisa membuat fikiranku fresh, akupun mengangguk.
            Setelah bapak memarkir motor, kami menuju kamar tempat Vina dirawat, seumur-umur baru kali ini aku ke rumah sakit Siti Sehat, padahal seberang tempat ini adalah gedung dimana aku bersekolah SMP dulu.
“Pak, nomer kamarnya Vina berapa?” aku khawatir kalau-kalau bapak belum tau kamarnya nomor berapa.
“Loh bapak lupa e. Tanya ae ke meja depan itu.” jawab bapak.
Kekhawatiranku terjawab sudah, memang bapak suka yang spontan-spontan.
“Mas, mau tanya nomer kamar pasien disini.” Bapak bertanya pada petugas di meja depan.
“Siapa namanya pak? Alamat?” tanya petugas.
“Vina Rahmawati, Banjarpoh, Sidoarjo.”
“Tunggu sebentar pak. Oh ini, di kamar mawar kuning nomor 6 pak.”
“Lewat mana mas?”
“Bapak lurus aja, naik lift di lantai 3, belok kanan. Disitu sudah blok mawar kuning.”
“Terima kasih mas, mari.” bapak mengajak aku pergi.
Nomer 1, nomer 3, nomer 5, ini dia kamarnya. Setelah menjelajahi jalan yang telah disampaikan petugas tadi, akhirnya ketemu juga. Ketika masuk ruangan, bu Kalimah sedang menemani Vina yang sedang berbaring karena sakit yang melanda di bagian perutnya, tapi aku tak tahu dia sakit apa. Setelah bapak dan orang tua Vina puas berbincang, kamipun pulang. Aku menyempatkan membuka HP, ternyata ada miscall dari tante Narti sebanyak 3 kali,
 “Ngapain nih, kok miscall banyak banget, biasanya juga nggak pernah nelfon. Biarin deh, entar juga sms.” kataku sendiri. Tapi aku merasa tidak enak tidak menjawab telfonnya.
            Ketika sampai di rumah, HP bapak berbunyi, bapak segera membaca sms itu, “Mas Muh, ibu meninggal.” seketika itu, jantungku tersentak, betapa kegetnya aku. Tidak terasa di mataku mulai penuh di dalam mataku. Bapakku tidak kalah kagetnya, beliau segera menelefon tante, ketika mendengar suara serak tanteku, rasanya tenggorokanku tercekat lagi. Akupun segera mengusap air mataku. Aku sangat menyesal, mengapa tidak aku respon telfon dari tante Narti. Andai aku tau lebih awal, pasti sekarang aku sudah di tengah perjalanan menuju kesana.
“Ayo siap-siap ke Kertosono. Sebelum larut malem” kata bapak
“Ngge, sebentar pak” jawabku
Segera aku bersiap-siap pergi ke Kertosono, bapak juga telah mempersiapkan mobil. Kamipun segera pergi, melewati Taman Pinang yang dipenuhi remaja yang asyik nongkrong bersama teman maupun pacar mereka masing-masing. Seolah-olah malam ini mereka yang menguasai.
“Jalane ruame pak, Masha Allah” kataku
“ya anak-anak pacaran itu, biasa” jawab bapak
            Jam di mobil menunjukkan angka 21.30, kantuk benar-benar telah menyelimutiku saat ini, karena mungkin aku tak mempunyai aktivitas yang berarti, sekedar duduk di samping bapak, melihat pemandangan yang samar-samar, lampu tidak menerangi seluruh isi jalan, yang mencolok hanya lampu mobil yang sedang berpapasan dengan mobil kami. Terlihat lampu merah di suatu jalan di Jombang, seluruh kendaraan terhipnotis untuk berhenti. Aku melihat sosok laki-laki yang sepertinya aku kenal, seperti kakakku. Benar! Dia mas Habib.
“He mas!” teriakku.
Dia hanya menggunakan isyarat kepala, bertanda dia menyahuti panggilanku. Gila benar nih anak, mengendarai sepeda motor dari Surabaya ke Kertosono, cepat sekali sudah berada di samping mobil kami, padahal kami berangkat pada waktu yang sama. Seketika bayangan Mbah Bu terlintas di benakku, saat aku dan mas Habib melihat TV,  beliau berjoget-joget di depan kami. Mbah Bu adalah panggilan nenek kami.
            Sampai di Pasar Kertosono, perutku berbicara padaku bahwa ia merasa lapar. Sepertinya bapak mengerti apa yang aku fikirkan,
“Makan dulu Rim?” tawar beliau.
“Ngge pak, laper, hehe.” Jawabku sambil terkekeh.
“Enaknya beli apa?”
Seketika pandanganku tertuju pada sebuah rombong bertulis “nasi goreng”,
“Terserah pak, lah itu ada nasi goreng, hehe.”
Ternyata aku tidak salah lihat, memang ada sebuah rombong nasi goreng yang masih berdiri di dekat pertigaan. Kebetulan itulah yang aku inginkan. Penjual di daerah ini sudah mulai membereskan barang dagangannya, sangat berbeda dengan suasana di daerah tempat aku tinggal.
“Pesen nopo pak?” seorang laki-laki menawari bapak.
“Nasi atau mi Rim?” bapak berganti tanya padaku.
“Mi mawon pak.” pintaku.
“Mi kalih mas, di tedo ten mriki.” jawab ke penjual nasi goreng.
Aku menyantap makananku sambil melihat kearah segerombol anak laki-laki yang sedang bersenda gurau sambil mengendarai sepeda motor.
Setelah santapan kami habis, lalu kami menuju ke rumah duka. Kami melewati jalan yang diapit oleh sawah yang sangat luas, tapi keadaannya benar-benar mengerikan, tidak ada lampu, sangat gelap. Tetapi karena adanya lampu mobil, tentu bapak dapat melanjutkan perjalanan. Disana ada sebuah mobil polisi, karena memang di jalan ini sering diadakan balap liar oleh remaja nakal. Mobil pun terus melaju, ketika sampai di depan rumah duka, ternyata  warga telah berkumpul disana, sangat ramai. Aku langsung saja melewati mereka tanpa menoleh, memasuki rumah. Ibu, tante, dan saudaraku lainnya sedang duduk di atas dipan, aku langsung menyalami mereka.
“Loh, anakku wes teko. Berangkat jam berapa?” Tanya ibu
“Jam setengah Sembilan bu.”
“Maem nduk?” tawar mbah Mah
            Mbah Mah adalah adik kandung dari Mbah Bu, beliau tinggal di desa sebelah yang jaraknya 2 desa dari rumah ini.
“Mboten mbah, sampun nikowau tumbas maem kalih bapak.” jawabku menolak
“Loh, mas pun nyampe?” aku melihat mas Habib lewat
“Barusan kok.” Jawab ibu
Ternyata mas Habib telah sampai lebih dulu. Bapak segera melakukan shalat Janazah di hadapan jasad Mbah Bu, begitu sedihnya aku disana.
“Istirahat nduk, kesel ngunu jektas teko.” begitu perhatiannya mbah Mah
“Ngge mbah.” jawabku
Orang-orang mulai meninggalkan rumah duka, yang tersisa hanya kerabat-kerabat kami, jasad Mbah Bu berada di ruang tamu sendirian dengan dibalut dengan kain kafan dan selimut, berada di atas dipan. Terdapat satu lilin di atas kepala beliau. Aku merasa sangat rindu kepada beliau, aku mencoba membuka kain yang menutup wajanya, ternyata terdapat kain lagi di dalamnya. Sangat sulit dibuka, karena memang sudah ditata begitu agar jasadnya tidak jatuh dari dipan. Tidak mungkin aku memaksa membuka kain tersebut, aku tidak mau Mbah Bu merasa kesakitan. Biasanya setiap aku disini, Mbah Bu duduk di kursi ruang tengah sambil menikmati sambal tomat yang aku buatkan.
Pagi hari yang terasa aneh, begitu ramai orang-orang disekitarku. Aku baru ingat kalau pagi ini hari pemakaman Mbah Bu.
“Putrinipun Bulek Tuah monggo ngumpul mriki.” seru pak Mudin
“Ayo Rim.” ibu menggandengku
“Loh, kulo pisan bu? Nyapo bu?” aku benar-benar tidak mengerti.
“Monggo sampean lewat ten ndisore mayit peng tigo, kalih ngucap . . . . .” pak Mudin memberitahu tata caranya.
“ngge pak.” jawab ibu
Sebelum berangkat memakamkan jenazah, aku harus melewati dibawah keranda yang berisi jasad Mbah Bu yang diangkat oleh 4 orang sebanyak 3 kali.
“Kulo atas nami Bulek Tu’ah sakeluarga nyuwun ngapunten ingkang katah menawi Bulek Tu’ah nggadah kelepatan katah.” Pak Mudin meminta maaf atas nama Mbah Bu kepada semua warga yang berada disini saat ini.
“nggee.” timpal semua warga
Beliau memimpin do’a sebelum keranda dibawa ke pemakaman. Wargapun mulai bergerak meninggalkan rumah duka, memaksa Mbah Bu untuk menuju rumah yang berbeda. Kami sekarang berada di pemakaman yang dikelilingi oleh sawah. Hawa semilir berhasil menghilangakan rasa sedihku, tapi tidak untuk waktu yang lama.
Aku benar-benar merasakan gemetar di tubuhku ketika menyaksikan jasad orang yang aku cintai dimasukkan ke dalam liang lahat. Rasanya aku ingin turun ke bawah dan menahan agar jasad beliau tidak dimasukkan ke dalam tempat yang aku anggap mengerikan tersebut. Seketika air mataku mengalir dengan deras, benar-benar tidak dapat ku bending perasaan yang membebani hati ini. Begitupun ibu dan saudara-saudaraku, hanya beberapa warga saja yang sempat untuk bersenda gurau acuh, mereka memang tidak sedang merasakan apa yang sedang keluargaku rasakan saat ini. Benar-benar do’a telah aku panjatkan setulus hati untuk beliau, agar dimudahkan segala prosesnya. Di tengah do’aku aku melihat bunga kamboja putih yang jatuh, seolah-olah ia juga jasad yang telah mati. Ku ambil, lalu ku taruh diatas gundukan tanah makam Mbah Bu, aku harap beliau tidak merasa takut disana.
Kakiku terasa tak ingin membiarkan aku pulang, ingin rasanya aku mengajak Mbah Bu pulang, dan tertawa-tawa lagi. Tentu itu kehendakku, bukan kehendak Allah, Allah memang memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin Allah tidak tega melihat beliau merasakan penyakitnya lebih lama. Memang sudah berkali-kali beliau opname di rumah sakit. Subhanallah, Maha Suci Allah.
Ibu mendatangiku saat aku duduk di teras depan, beliau berkata,
“sekarang kamu pulang aja sama masmu, besok sekolah gitu.”
“ngge bu.” jawabku.
Dengan raut yang masih sayu, akupun mengangguk, karena memang sekolah aku anggap sangat penting. Begitu melekatnya Mbah Bu dalam fikiranku, baying-bayang di pemakama masih berkelebat, sehingga angin di jalan dapat membuatku merasakan dinginnya air yang berada di pipiku. Aku tidak tau apa yang dirasakan kakakku saat ini, apakah ia konsen dengan motornya atau tidak.





0 komentar:

Posting Komentar

Label

SriMenTilLith

SriMenTilLith
My Group =)

Translate