Buscar

Labels

Dream House Program

*Dialogue







K: morning everybody, meet ag

ain with me Karima Fajarwati, in a famous program. What is it? Of course in Dream House program. Can u guess whose house that we are visiting today? U don’t know? I’m in front of a familiar singer in this world. Who is she? Lady Gaga? Tailor Swift? Soimah? Ok, I’ll tell you, she’s Lorenz Lovatto, but her Java name is Dilla Aziza. Of course you know her! Let’s go!
      (toktoktok) excuse me, Assalamu’alaikum
D: (open) Wa’alaikumsalam. Oh hi..
K: Hi Dilla, morning
D: morning
K: I’m Karima from Dream House program
D: Hi Karima, nice to meet you
K: Nice to meet u too. Could u show your house to us? you have a great house!
D: Of course you can, come on. The first room is living room (sitdown)
K: the colour of sofa is compatible with the floor, so beautiful
D: yeah, my mother chose it. Do you want to drink?
K: No thanks
D: Ok, the next is my bedroom. Sorry if my room is dirty
K: It’s too clean Dilla. Wow blue, I feel so comfortable here
D: I like blue, make my feeling be better
K: you’re right!
D: you can sleep here if you want
K: Really? Thank you
D: let’s go to the kitchen
K: I smell a fried chicken. Did you cook fried chicken?
D:Yeah, I cooked fried chicken just now
K: Is this your favourite room?
D: No, I don’t like cooking actually
K: I can teach you if you want
D: thank you, I’ll message you first
K: Do you have a second floor?
D: yes I have, do you want to go there?
K: yes of course
D: ok let’s go upstairs
K: the stairs is so high
D: I’m sorry, I like exercising
K: Beholder, this is the upper storey of Dilla’s house
D: This is my study room, but sometimes I sleep here
K: You’re a diligent singer
D: Thank you
K: Can we go to the main floor?
D: Yes we can
K: Thank you for your time. Your house is really a dream house. It’s so honor I can enter and show your house to the beholder
D: Your welcome. Thank you for Dream House

K: Ok beholder, this’s Dilla’s house. A great house right? I think our time is over, thank you. Keep watching the next episode. I’m Karima Fajarwati from Dream House program. See you


Bunga untuk Mbahbu

*cerpen


            Hari ini merupakan hari yang suram, tapi juga hari yang menyenangkan. Suram yaitu hari ini hanya ada aku dan bapak di rumah. Menyenangkan adalah karena hari ini aku dapat rehat sejenak dari angka-angka. Tentu saja sekarang hari sabtu!
“Bapak mau jenguk Vina di rumah sakit, ikut ngggak?” bapak berkata padaku. Aku fikir, keluar rumah bisa membuat fikiranku fresh, akupun mengangguk.
            Setelah bapak memarkir motor, kami menuju kamar tempat Vina dirawat, seumur-umur baru kali ini aku ke rumah sakit Siti Sehat, padahal seberang tempat ini adalah gedung dimana aku bersekolah SMP dulu.
“Pak, nomer kamarnya Vina berapa?” aku khawatir kalau-kalau bapak belum tau kamarnya nomor berapa.
“Loh bapak lupa e. Tanya ae ke meja depan itu.” jawab bapak.
Kekhawatiranku terjawab sudah, memang bapak suka yang spontan-spontan.
“Mas, mau tanya nomer kamar pasien disini.” Bapak bertanya pada petugas di meja depan.
“Siapa namanya pak? Alamat?” tanya petugas.
“Vina Rahmawati, Banjarpoh, Sidoarjo.”
“Tunggu sebentar pak. Oh ini, di kamar mawar kuning nomor 6 pak.”
“Lewat mana mas?”
“Bapak lurus aja, naik lift di lantai 3, belok kanan. Disitu sudah blok mawar kuning.”
“Terima kasih mas, mari.” bapak mengajak aku pergi.
Nomer 1, nomer 3, nomer 5, ini dia kamarnya. Setelah menjelajahi jalan yang telah disampaikan petugas tadi, akhirnya ketemu juga. Ketika masuk ruangan, bu Kalimah sedang menemani Vina yang sedang berbaring karena sakit yang melanda di bagian perutnya, tapi aku tak tahu dia sakit apa. Setelah bapak dan orang tua Vina puas berbincang, kamipun pulang. Aku menyempatkan membuka HP, ternyata ada miscall dari tante Narti sebanyak 3 kali,
 “Ngapain nih, kok miscall banyak banget, biasanya juga nggak pernah nelfon. Biarin deh, entar juga sms.” kataku sendiri. Tapi aku merasa tidak enak tidak menjawab telfonnya.
            Ketika sampai di rumah, HP bapak berbunyi, bapak segera membaca sms itu, “Mas Muh, ibu meninggal.” seketika itu, jantungku tersentak, betapa kegetnya aku. Tidak terasa di mataku mulai penuh di dalam mataku. Bapakku tidak kalah kagetnya, beliau segera menelefon tante, ketika mendengar suara serak tanteku, rasanya tenggorokanku tercekat lagi. Akupun segera mengusap air mataku. Aku sangat menyesal, mengapa tidak aku respon telfon dari tante Narti. Andai aku tau lebih awal, pasti sekarang aku sudah di tengah perjalanan menuju kesana.
“Ayo siap-siap ke Kertosono. Sebelum larut malem” kata bapak
“Ngge, sebentar pak” jawabku
Segera aku bersiap-siap pergi ke Kertosono, bapak juga telah mempersiapkan mobil. Kamipun segera pergi, melewati Taman Pinang yang dipenuhi remaja yang asyik nongkrong bersama teman maupun pacar mereka masing-masing. Seolah-olah malam ini mereka yang menguasai.
“Jalane ruame pak, Masha Allah” kataku
“ya anak-anak pacaran itu, biasa” jawab bapak
            Jam di mobil menunjukkan angka 21.30, kantuk benar-benar telah menyelimutiku saat ini, karena mungkin aku tak mempunyai aktivitas yang berarti, sekedar duduk di samping bapak, melihat pemandangan yang samar-samar, lampu tidak menerangi seluruh isi jalan, yang mencolok hanya lampu mobil yang sedang berpapasan dengan mobil kami. Terlihat lampu merah di suatu jalan di Jombang, seluruh kendaraan terhipnotis untuk berhenti. Aku melihat sosok laki-laki yang sepertinya aku kenal, seperti kakakku. Benar! Dia mas Habib.
“He mas!” teriakku.
Dia hanya menggunakan isyarat kepala, bertanda dia menyahuti panggilanku. Gila benar nih anak, mengendarai sepeda motor dari Surabaya ke Kertosono, cepat sekali sudah berada di samping mobil kami, padahal kami berangkat pada waktu yang sama. Seketika bayangan Mbah Bu terlintas di benakku, saat aku dan mas Habib melihat TV,  beliau berjoget-joget di depan kami. Mbah Bu adalah panggilan nenek kami.
            Sampai di Pasar Kertosono, perutku berbicara padaku bahwa ia merasa lapar. Sepertinya bapak mengerti apa yang aku fikirkan,
“Makan dulu Rim?” tawar beliau.
“Ngge pak, laper, hehe.” Jawabku sambil terkekeh.
“Enaknya beli apa?”
Seketika pandanganku tertuju pada sebuah rombong bertulis “nasi goreng”,
“Terserah pak, lah itu ada nasi goreng, hehe.”
Ternyata aku tidak salah lihat, memang ada sebuah rombong nasi goreng yang masih berdiri di dekat pertigaan. Kebetulan itulah yang aku inginkan. Penjual di daerah ini sudah mulai membereskan barang dagangannya, sangat berbeda dengan suasana di daerah tempat aku tinggal.
“Pesen nopo pak?” seorang laki-laki menawari bapak.
“Nasi atau mi Rim?” bapak berganti tanya padaku.
“Mi mawon pak.” pintaku.
“Mi kalih mas, di tedo ten mriki.” jawab ke penjual nasi goreng.
Aku menyantap makananku sambil melihat kearah segerombol anak laki-laki yang sedang bersenda gurau sambil mengendarai sepeda motor.
Setelah santapan kami habis, lalu kami menuju ke rumah duka. Kami melewati jalan yang diapit oleh sawah yang sangat luas, tapi keadaannya benar-benar mengerikan, tidak ada lampu, sangat gelap. Tetapi karena adanya lampu mobil, tentu bapak dapat melanjutkan perjalanan. Disana ada sebuah mobil polisi, karena memang di jalan ini sering diadakan balap liar oleh remaja nakal. Mobil pun terus melaju, ketika sampai di depan rumah duka, ternyata  warga telah berkumpul disana, sangat ramai. Aku langsung saja melewati mereka tanpa menoleh, memasuki rumah. Ibu, tante, dan saudaraku lainnya sedang duduk di atas dipan, aku langsung menyalami mereka.
“Loh, anakku wes teko. Berangkat jam berapa?” Tanya ibu
“Jam setengah Sembilan bu.”
“Maem nduk?” tawar mbah Mah
            Mbah Mah adalah adik kandung dari Mbah Bu, beliau tinggal di desa sebelah yang jaraknya 2 desa dari rumah ini.
“Mboten mbah, sampun nikowau tumbas maem kalih bapak.” jawabku menolak
“Loh, mas pun nyampe?” aku melihat mas Habib lewat
“Barusan kok.” Jawab ibu
Ternyata mas Habib telah sampai lebih dulu. Bapak segera melakukan shalat Janazah di hadapan jasad Mbah Bu, begitu sedihnya aku disana.
“Istirahat nduk, kesel ngunu jektas teko.” begitu perhatiannya mbah Mah
“Ngge mbah.” jawabku
Orang-orang mulai meninggalkan rumah duka, yang tersisa hanya kerabat-kerabat kami, jasad Mbah Bu berada di ruang tamu sendirian dengan dibalut dengan kain kafan dan selimut, berada di atas dipan. Terdapat satu lilin di atas kepala beliau. Aku merasa sangat rindu kepada beliau, aku mencoba membuka kain yang menutup wajanya, ternyata terdapat kain lagi di dalamnya. Sangat sulit dibuka, karena memang sudah ditata begitu agar jasadnya tidak jatuh dari dipan. Tidak mungkin aku memaksa membuka kain tersebut, aku tidak mau Mbah Bu merasa kesakitan. Biasanya setiap aku disini, Mbah Bu duduk di kursi ruang tengah sambil menikmati sambal tomat yang aku buatkan.
Pagi hari yang terasa aneh, begitu ramai orang-orang disekitarku. Aku baru ingat kalau pagi ini hari pemakaman Mbah Bu.
“Putrinipun Bulek Tuah monggo ngumpul mriki.” seru pak Mudin
“Ayo Rim.” ibu menggandengku
“Loh, kulo pisan bu? Nyapo bu?” aku benar-benar tidak mengerti.
“Monggo sampean lewat ten ndisore mayit peng tigo, kalih ngucap . . . . .” pak Mudin memberitahu tata caranya.
“ngge pak.” jawab ibu
Sebelum berangkat memakamkan jenazah, aku harus melewati dibawah keranda yang berisi jasad Mbah Bu yang diangkat oleh 4 orang sebanyak 3 kali.
“Kulo atas nami Bulek Tu’ah sakeluarga nyuwun ngapunten ingkang katah menawi Bulek Tu’ah nggadah kelepatan katah.” Pak Mudin meminta maaf atas nama Mbah Bu kepada semua warga yang berada disini saat ini.
“nggee.” timpal semua warga
Beliau memimpin do’a sebelum keranda dibawa ke pemakaman. Wargapun mulai bergerak meninggalkan rumah duka, memaksa Mbah Bu untuk menuju rumah yang berbeda. Kami sekarang berada di pemakaman yang dikelilingi oleh sawah. Hawa semilir berhasil menghilangakan rasa sedihku, tapi tidak untuk waktu yang lama.
Aku benar-benar merasakan gemetar di tubuhku ketika menyaksikan jasad orang yang aku cintai dimasukkan ke dalam liang lahat. Rasanya aku ingin turun ke bawah dan menahan agar jasad beliau tidak dimasukkan ke dalam tempat yang aku anggap mengerikan tersebut. Seketika air mataku mengalir dengan deras, benar-benar tidak dapat ku bending perasaan yang membebani hati ini. Begitupun ibu dan saudara-saudaraku, hanya beberapa warga saja yang sempat untuk bersenda gurau acuh, mereka memang tidak sedang merasakan apa yang sedang keluargaku rasakan saat ini. Benar-benar do’a telah aku panjatkan setulus hati untuk beliau, agar dimudahkan segala prosesnya. Di tengah do’aku aku melihat bunga kamboja putih yang jatuh, seolah-olah ia juga jasad yang telah mati. Ku ambil, lalu ku taruh diatas gundukan tanah makam Mbah Bu, aku harap beliau tidak merasa takut disana.
Kakiku terasa tak ingin membiarkan aku pulang, ingin rasanya aku mengajak Mbah Bu pulang, dan tertawa-tawa lagi. Tentu itu kehendakku, bukan kehendak Allah, Allah memang memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin Allah tidak tega melihat beliau merasakan penyakitnya lebih lama. Memang sudah berkali-kali beliau opname di rumah sakit. Subhanallah, Maha Suci Allah.
Ibu mendatangiku saat aku duduk di teras depan, beliau berkata,
“sekarang kamu pulang aja sama masmu, besok sekolah gitu.”
“ngge bu.” jawabku.
Dengan raut yang masih sayu, akupun mengangguk, karena memang sekolah aku anggap sangat penting. Begitu melekatnya Mbah Bu dalam fikiranku, baying-bayang di pemakama masih berkelebat, sehingga angin di jalan dapat membuatku merasakan dinginnya air yang berada di pipiku. Aku tidak tau apa yang dirasakan kakakku saat ini, apakah ia konsen dengan motornya atau tidak.





Remaja dan Globalisasi

*pidato


Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
            Yang saya hormati, bapak Shodiq selaku guru mata pelajaran bahasa Indonesia, dan teman-teman yang berbahagia. Marilah kita ucapkan syukur kehadirat Allah yang telah memberi kesempatan kepada kita untuk hadir di tempat ini dalam keadaan sehat wal afiat. Dan saya berterima kasih karena saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato mengenai sikap kita sebagai remaja dalam menghadapi era globalisasi.
            Seperti yang kita tahu, bahwa saat ini seluruh teknologi menjadi sangat maju, termasuk di Indonesia. Tidak hanya teknologi maju saja yang mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebudayaan dari luarpun mempengaruhi kita.
            Adanya pengaruh kepada kita, tentu mempunyai dampak. Saya beri contoh dampak tentang kemajuan teknologi. Contohnya yaitu alat komunikasi, seperti handphone dan internet. Dampak positifnya sangat banyak, antara lain dapat memudahkan kita untuk berkomunikasi/ berhubungan dengan teman yang jauh dengan cepat. Coba ingat zaman dahulu, masih menggunakan surat, tentu akan membutuhkan waktu lama. Dampak positif dari internet yaitu kita dapat mengetahui secara langsung berita atau kabar dari luar negeri, seperti kabar perang di Palestina. Kita tidak perlu repot-repot pergi kesana untuk mendapatkan informasi tersebut.
            Selain dampak positif, tentu terdapat dampak negatif juga. Antara lain dampak handphone yaitu para siswa lebih sering ber-sms ria sehingga lupa waktu belajar. Sedangkan dampak negatif internet yaitu adanya penculikan anak, karena terlalu sering behubungan dengan orang yang tidak dikenal melalui internet atau media sosial, seperti facebook, twitter, dan lain-lain.
            Maka dari itu, hal yang harus kita lakukan sebagai remaja dan pelajar yaitu, pertama kita harus bisa memanfaatkan sebaik-baiknya kemajuan teknologi di era globalisasi ini, sehingga kita harus bisa memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Karena jika kita dapat memilih, hal tersebut dapat mengantarkan kita kepada masa depan yang bahagia. Kedua, kita harus membentengi diri kita dari dampak buruk tersebut dengan memperkuat karakter yang baik berdasarkan agama. Yang terakhir yaitu selalu siap menghadapi segala jenis perubahan dan persaingan dengan mempersiapkan dan meningkatkan keterampilan kita.
            Marilah kita bersama-sama menjadi generasi terbaik di era globalisasi ini. Insya Allah.. Amin.

            Demikian pidato dari saya, mohon maaf atas segala kekhilafan, terima kasih atas perhatiannya. Akhirul kalam, Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.







My Ummah "Sami Yusuf"



My ummah, my ummah
He will say

Rasulullah on that day
Even though we’ve strayed from him and his way



My brothers, my sisters, in Islam
Let’s struggle, work, and pray
If we are to
bring back the glory of his way



CHORUS:
Ya Allah ya rabbal ‘alamin
Ya rahmanu ya rahim
Ya Rabbi
(O Allah Lord of the Worlds
O Merciful and Beneficent
O my Lord)
Let the Ummah rise again




*CHORUS

Let us see daylight again
Once again





Let’s become whole again
Proud again
’Cause I swear with firm belief in our hearts
We can bring back the glory of our past



My ummah, my ummah
He will say
Rasulullah on that day
Even though we strayed from him and his way



Look at where we were
And look at where we are
And tell me
Is this how he’d want it to be?
Oh no! Let us bring back our glory

*CHORUS 2x


"Unforgettable Moment" Dialogue

Unforgettable Moment

KARIMA       : Morning guys
DILLA, DIANI, NOVA : Morning Karima
KARIMA      : How’re you girls?
DILLA, DIANI : I’m very good today =)
KARIMA       : How about you Nova?
NOVA           : I’m so so
DILLA          : I think I feel so bored this time. How if we share about our unforgettable          moment?
DIANI         : That’s a good idea. OK, let’s start from Dilla
DILLA          : I’ll tell you about my best moment. That’s happened when I went to                     Kakekbodo Waterfall
KARIMA      : And then?
DILLA          : Do you know? The monkey there took my sandals. I shouted, but nobody              helped me. Finally the monkey turned back my sandals
NOVA          : That’s so interesting Dilla. How about you Diani?
DIANI         : My unforgettable moment is when I was in a hotel in Blitar with the                    students of MANSDA. I was very happy, specially when I had a dinner              with my best friends. I felt the beauty of friendship, shared each other,            and we always had a lot of jokes
KARIMA      : Wow, I guess that you enjoyed that moment
DIANI         : Of course Karima! How about you Nova?
NOVA          : Me? OK,I’ll tell you. That’s happened when I was in Junior High School. I          and my friends followed ceremony, after that we had an idea, went to               WARNET. On the way, we met with 2 securities of Muslim boarding                 school. We had to give a permission letter to them, buy we didn’t have.               They gave us 2 options, wrote our names or bought a sack of cement. And           then we chose to wrote our names. Finally, they gave us a yellow card, and           we felt so afraid
DILLA         : It’s terrible Nova.. And the last, you Karima
KARIMA     : Yeah, this’s my favorite story. I and Vitry followed scout’s event, went to           Bromo. We had to climb from Nongkojajar until under of Bromo. I enjoyed         our trip when I took a rest in desert of Bromo, I saw about 10 falling               stars. Thanks to GOD, I could see the beauty view
DIANI        : That’s so great Karima
NOVA          : I’m sory guys, my mom asked me to go home now
KARIMA      : OK Nova, see you tomorrow

NOVA          : See you


Keajaiban Benda _+ 9 cm

Indonesia adalah negri seribu wajah, seribu musim, seribu pulau dan negri serba seribu...Indonesia juga surga bagi para " koruptor " surga juga bagi perokok, luar biasa ramah, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tidak merokok.


rakatalenta.com
Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok, Bahkan di Rumah Sakit Paru-paru ada yang merokok, Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.
Di Masjid ada perokok, di POM bensinpun ada yang merokok, dibalik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.
Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok, di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok, di andong kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok. hehe...hehe
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.
Rokok seperti telah menjadi dewa, diam-diam telah menguasai kita.



Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok.
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok, bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok, Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang pandai merokok, di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang Pandai merokok, di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang Pandai merokok...yang lagi baca juga merokok kali...Hehe...:)
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok, Rokok telah menjadi dewa, diam-diam menguasai kita.



Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i. Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan? Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith. Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan.



Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang diam-diam membunuh kepala-kepala kecil yang berapi itu, yaitu ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi semua ini.



Try Not to Cry "Sami Yusuf"



You, you’re not aware

That we’re aware
Of your despair

Don’t show your tears

To your oppressor

Don’t show your tears



Chorus:

Try not to cry little one

You’re not alone
I’ll stand by you
Try not to cry little one
My heart is your stone
I’ll throw with you



Isam:

‘ayn jalut where david slew goliath

This very same place that we be at

Passing through the sands of times
This land’s been the victim of countless crimes
From crusaders and mongols
To the present aggression
Then the franks, now even a crueller oppression
If these walls could speak,
Imagine what would they say



For me in this path that i walk on

There's only one way

Bullets may kill, bones may break
Still i throw stones like david before me and i say



Chorus



Lenny:

No llores, no pierdas la fe
(Don’t cry, don’t lose faith)

La sed la calma el que haze

(The one who made water come out of the sand)

Agua de la arena

(Is the one who quenches the thirst)

Y tu que te levantas con orgullo entre las piedras

(And you who rise proud from between the stones)

Haz hecho mares de este polvo

(Have made oceans from this dust)


Waqas:

I throw stones at my eyes

’cause for way too long they’ve been dry
Plus they see what they shouldn’t from oppressed babies to thighs
I throw stones at my tongue
’cause it should really keep its peace
I throw stones at my feet
’cause they stray and lead to defeat
A couple of big ones at my heart
’cause the thing is freezing cold
But my nafs is still alive
And kicking unstoppable and on a roll
I throw bricks at the devil so i’ll be sure to hit him
But first at the man in the mirror
So i can chase out the venom



Isam:

Hmm, a little boy shot in the head

Just another kid sent out to get some bread
Not the first murder nor the last
Again and again a repetition of the past
Since the very first day same story
Young ones, old ones, some glory
How can it be, has the whole world turned blind?
Or is it just ’cause it’s only affecting my kind?!
If these walls could speak,
Imagine what would they say
For me in this path that i walk on
There’s only one way
Bullets may kill, bones may break
Still i throw stones like david before me and i say



Chorus












Label

SriMenTilLith

SriMenTilLith
My Group =)

Translate