Hari ini merupakan hari yang suram, tapi juga hari yang
menyenangkan. Suram yaitu hari ini hanya ada aku dan bapak di rumah.
Menyenangkan adalah karena hari ini aku dapat rehat sejenak dari angka-angka.
Tentu saja sekarang hari sabtu!
“Bapak mau jenguk Vina di rumah sakit, ikut ngggak?” bapak berkata
padaku. Aku fikir, keluar rumah bisa membuat fikiranku fresh, akupun
mengangguk.
Setelah bapak
memarkir motor, kami menuju kamar tempat Vina dirawat, seumur-umur baru kali
ini aku ke rumah sakit Siti Sehat, padahal seberang tempat ini adalah gedung
dimana aku bersekolah SMP dulu.
“Pak, nomer kamarnya Vina berapa?” aku khawatir kalau-kalau bapak
belum tau kamarnya nomor berapa.
“Loh bapak lupa e. Tanya ae ke meja depan itu.” jawab bapak.
Kekhawatiranku terjawab sudah, memang bapak
suka yang spontan-spontan.
“Mas, mau tanya nomer kamar pasien disini.” Bapak bertanya pada
petugas di meja depan.
“Siapa namanya pak? Alamat?” tanya petugas.
“Vina Rahmawati, Banjarpoh, Sidoarjo.”
“Tunggu sebentar pak. Oh ini, di kamar mawar kuning nomor 6 pak.”
“Lewat mana mas?”
“Bapak lurus aja, naik lift di lantai 3, belok kanan. Disitu sudah
blok mawar kuning.”
“Terima kasih mas, mari.” bapak mengajak aku pergi.
Nomer 1, nomer 3, nomer 5, ini dia kamarnya. Setelah
menjelajahi jalan yang telah disampaikan petugas tadi, akhirnya ketemu juga. Ketika
masuk ruangan, bu Kalimah sedang menemani Vina yang sedang berbaring karena
sakit yang melanda di bagian perutnya, tapi aku tak tahu dia sakit apa. Setelah
bapak dan orang tua Vina puas berbincang, kamipun pulang. Aku menyempatkan
membuka HP, ternyata ada miscall dari tante Narti sebanyak 3 kali,
“Ngapain nih, kok miscall
banyak banget, biasanya juga nggak pernah nelfon. Biarin deh, entar juga sms.”
kataku sendiri. Tapi aku merasa tidak enak tidak menjawab telfonnya.
Ketika sampai di
rumah, HP bapak berbunyi, bapak segera membaca sms itu, “Mas Muh, ibu
meninggal.” seketika itu, jantungku tersentak, betapa kegetnya aku. Tidak
terasa di mataku mulai penuh di dalam mataku. Bapakku tidak kalah kagetnya,
beliau segera menelefon tante, ketika mendengar suara serak tanteku, rasanya
tenggorokanku tercekat lagi. Akupun segera mengusap air mataku. Aku sangat
menyesal, mengapa tidak aku respon telfon dari tante Narti. Andai aku tau lebih
awal, pasti sekarang aku sudah di tengah perjalanan menuju kesana.
“Ayo siap-siap ke Kertosono. Sebelum larut
malem” kata bapak
“Ngge, sebentar pak” jawabku
Segera aku bersiap-siap pergi ke Kertosono, bapak juga telah
mempersiapkan mobil. Kamipun segera pergi, melewati Taman Pinang yang dipenuhi
remaja yang asyik nongkrong bersama teman maupun pacar mereka masing-masing.
Seolah-olah malam ini mereka yang menguasai.
“Jalane ruame pak, Masha Allah” kataku
“ya anak-anak pacaran itu, biasa” jawab bapak
Jam di mobil
menunjukkan angka 21.30, kantuk benar-benar telah menyelimutiku saat ini,
karena mungkin aku tak mempunyai aktivitas yang berarti, sekedar duduk di
samping bapak, melihat pemandangan yang samar-samar, lampu tidak menerangi
seluruh isi jalan, yang mencolok hanya lampu mobil yang sedang berpapasan
dengan mobil kami. Terlihat lampu merah di suatu jalan di Jombang, seluruh
kendaraan terhipnotis untuk berhenti. Aku melihat sosok laki-laki yang
sepertinya aku kenal, seperti kakakku. Benar! Dia mas Habib.
“He mas!” teriakku.
Dia hanya menggunakan isyarat kepala, bertanda dia menyahuti
panggilanku. Gila benar nih anak, mengendarai sepeda motor dari Surabaya ke
Kertosono, cepat sekali sudah berada di samping mobil kami, padahal kami
berangkat pada waktu yang sama. Seketika bayangan Mbah Bu terlintas di benakku,
saat aku dan mas Habib melihat TV, beliau berjoget-joget di depan kami. Mbah Bu
adalah panggilan nenek kami.
Sampai di Pasar
Kertosono, perutku berbicara padaku bahwa ia merasa lapar. Sepertinya bapak mengerti
apa yang aku fikirkan,
“Makan dulu Rim?” tawar beliau.
“Ngge pak, laper, hehe.” Jawabku sambil terkekeh.
“Enaknya beli apa?”
Seketika pandanganku tertuju pada sebuah rombong bertulis “nasi goreng”,
“Terserah pak, lah itu ada nasi goreng, hehe.”
Ternyata aku tidak salah lihat, memang ada sebuah rombong nasi goreng
yang masih berdiri di dekat pertigaan. Kebetulan itulah yang aku inginkan.
Penjual di daerah ini sudah mulai membereskan barang dagangannya, sangat
berbeda dengan suasana di daerah tempat aku tinggal.
“Pesen nopo pak?” seorang laki-laki menawari bapak.
“Nasi atau mi Rim?” bapak berganti tanya padaku.
“Mi mawon pak.” pintaku.
“Mi kalih mas, di tedo ten mriki.” jawab ke penjual nasi goreng.
Aku menyantap makananku sambil melihat kearah segerombol anak
laki-laki yang sedang bersenda gurau sambil mengendarai sepeda motor.
Setelah santapan kami habis, lalu kami menuju
ke rumah duka. Kami melewati jalan yang diapit oleh sawah yang sangat luas,
tapi keadaannya benar-benar mengerikan, tidak ada lampu, sangat gelap. Tetapi
karena adanya lampu mobil, tentu bapak dapat melanjutkan perjalanan. Disana ada
sebuah mobil polisi, karena memang di jalan ini sering diadakan balap liar oleh
remaja nakal. Mobil pun terus melaju, ketika sampai di depan rumah duka,
ternyata warga telah berkumpul disana,
sangat ramai. Aku langsung saja melewati mereka tanpa menoleh, memasuki rumah. Ibu,
tante, dan saudaraku lainnya sedang duduk di atas dipan, aku langsung menyalami
mereka.
“Loh, anakku wes teko. Berangkat jam berapa?” Tanya ibu
“Jam setengah Sembilan bu.”
“Maem nduk?” tawar mbah Mah
Mbah Mah adalah
adik kandung dari Mbah Bu, beliau tinggal di desa sebelah yang jaraknya 2 desa
dari rumah ini.
“Mboten mbah, sampun nikowau tumbas maem kalih bapak.” jawabku menolak
“Loh, mas pun nyampe?” aku melihat mas Habib lewat
“Barusan kok.” Jawab ibu
Ternyata mas Habib telah sampai lebih dulu.
Bapak segera melakukan shalat Janazah di hadapan jasad Mbah Bu, begitu sedihnya
aku disana.
“Istirahat nduk, kesel ngunu jektas teko.” begitu perhatiannya mbah
Mah
“Ngge mbah.” jawabku
Orang-orang mulai meninggalkan rumah duka, yang
tersisa hanya kerabat-kerabat kami, jasad Mbah Bu berada di ruang tamu
sendirian dengan dibalut dengan kain kafan dan selimut, berada di atas dipan.
Terdapat satu lilin di atas kepala beliau. Aku merasa sangat rindu kepada
beliau, aku mencoba membuka kain yang menutup wajanya, ternyata terdapat kain
lagi di dalamnya. Sangat sulit dibuka, karena memang sudah ditata begitu agar
jasadnya tidak jatuh dari dipan. Tidak mungkin aku memaksa membuka kain
tersebut, aku tidak mau Mbah Bu merasa kesakitan. Biasanya setiap aku disini,
Mbah Bu duduk di kursi ruang tengah sambil menikmati sambal tomat yang aku
buatkan.
Pagi hari yang terasa aneh, begitu ramai
orang-orang disekitarku. Aku baru ingat kalau pagi ini hari pemakaman Mbah Bu.
“Putrinipun Bulek Tuah monggo ngumpul mriki.” seru pak Mudin
“Ayo Rim.” ibu menggandengku
“Loh, kulo pisan bu? Nyapo bu?” aku benar-benar tidak mengerti.
“Monggo sampean lewat ten ndisore mayit peng tigo, kalih ngucap . .
. . .” pak Mudin memberitahu tata caranya.
“ngge pak.” jawab ibu
Sebelum berangkat memakamkan jenazah, aku harus
melewati dibawah keranda yang berisi jasad Mbah Bu yang diangkat oleh 4 orang
sebanyak 3 kali.
“Kulo atas nami Bulek Tu’ah sakeluarga nyuwun ngapunten ingkang
katah menawi Bulek Tu’ah nggadah kelepatan katah.” Pak Mudin meminta maaf atas
nama Mbah Bu kepada semua warga yang berada disini saat ini.
“nggee.” timpal semua warga
Beliau memimpin do’a sebelum keranda dibawa ke
pemakaman. Wargapun mulai bergerak meninggalkan rumah duka, memaksa Mbah Bu
untuk menuju rumah yang berbeda. Kami sekarang berada di pemakaman yang
dikelilingi oleh sawah. Hawa semilir berhasil menghilangakan rasa sedihku, tapi
tidak untuk waktu yang lama.
Aku benar-benar merasakan gemetar di tubuhku
ketika menyaksikan jasad orang yang aku cintai dimasukkan ke dalam liang lahat.
Rasanya aku ingin turun ke bawah dan menahan agar jasad beliau tidak dimasukkan
ke dalam tempat yang aku anggap mengerikan tersebut. Seketika air mataku
mengalir dengan deras, benar-benar tidak dapat ku bending perasaan yang
membebani hati ini. Begitupun ibu dan saudara-saudaraku, hanya beberapa warga
saja yang sempat untuk bersenda gurau acuh, mereka memang tidak sedang
merasakan apa yang sedang keluargaku rasakan saat ini. Benar-benar do’a telah
aku panjatkan setulus hati untuk beliau, agar dimudahkan segala prosesnya. Di
tengah do’aku aku melihat bunga kamboja putih yang jatuh, seolah-olah ia juga
jasad yang telah mati. Ku ambil, lalu ku taruh diatas gundukan tanah makam Mbah
Bu, aku harap beliau tidak merasa takut disana.
Kakiku terasa tak ingin membiarkan aku pulang,
ingin rasanya aku mengajak Mbah Bu pulang, dan tertawa-tawa lagi. Tentu itu
kehendakku, bukan kehendak Allah, Allah memang memberikan yang terbaik untuk
hamba-Nya. Mungkin Allah tidak tega melihat beliau merasakan penyakitnya lebih
lama. Memang sudah berkali-kali beliau opname di rumah sakit. Subhanallah, Maha
Suci Allah.
Ibu mendatangiku saat aku duduk di teras depan,
beliau berkata,
“sekarang kamu pulang aja sama masmu, besok sekolah gitu.”
“ngge bu.” jawabku.
Dengan raut yang masih sayu, akupun mengangguk,
karena memang sekolah aku anggap sangat penting. Begitu melekatnya Mbah Bu
dalam fikiranku, baying-bayang di pemakama masih berkelebat, sehingga angin di
jalan dapat membuatku merasakan dinginnya air yang berada di pipiku. Aku tidak
tau apa yang dirasakan kakakku saat ini, apakah ia konsen dengan motornya atau
tidak.